Rabu, 02 Februari 2011

Pengalaman Mendekati Kematian (3) : Apa yang Terjadi Ketika Seorang Meninggal


alt

Reputasi Jakoby tumbuh karena kesungguhan dari penelitiannya. Ia mulai memberi seminar-seminar dengan judul What happens when we die? (Apa yang terjadi bila kita mati?). Ia bersama orang yang telah melewati banyak pengalaman dengan kematian keluarganya, atau orang yang tertarik pada fenomena tertentu yang berkaitan dengan topiknya, dan memfasilitasi diskusi-diskusi ini.

Orang-orang diberi kesempatan untuk menceritakan tentang hal-hal yang dipendamnya sendiri. Diskusi-diskusinya menyentuh berbagai topik, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan proses kematian, dengan pengalaman-pengalaman setelah kematian, atau bahkan dengan bunuh diri dan mati mendadak.
"Pertama saya ingin agar orang-orang yang membuka diri dan membagikan pengalamannya mengapa mereka menghadiri diskusi ini. Itu biasanya akan cocok dengan sangat menakjubkan dan harmonis dalam konteks umumnya," kata Jakoby.
Hal itu menjadi prioritas utama dirinya untuk memberi kesempatan orang lain menceritakan pengalaman yang mereka miliki, dan masalah apa yang ada dalam pikirannya. Menurut Jakoby, itulah sebabnya mengapa mereka datang — yakni untuk menemukan sebuah forum terbuka membahas topik ini, yang masih dianggap tabu oleh masyarakat umum untuk dibicarakan.
Kebutuhan orang untuk saling tukar pemahaman dan pengalaman tentang keadaan ’setelah mati’ adalah sangat tinggi. Sebuah artikel halaman depan di surat kabar the Berliner Morgenpost pada September 1997 telah menyebabkan lebih dari 300 telepon masuk.
Jakoby juga bertemu dan mewawancarai Dr. Elisabeth Kuebler-Ross pada beberapa kali kesempatan. Wawancara itu ditampilkan dalam beberapa jurnal profesional. Walaupun Kuebler-Ross telah menderita tiga kali stroke sejak 1995, perempuan itu antusias memberikan kata pengantar pada buku pertama Jakoby, You Too Live Forever—Results of Contemporary Death Research (Auch Du Lebst Ewig), yang diterbitkan pada 2000 dan langsung menjadi bestseller.
Salah satu tujuan Jakoby adalah untuk menyebarkan pengetahuan yang ada tentang proses kematian, ajal, dan keberadaan kesadaran yang berkelanjutan.
"Selama gagasan ini belum menjadi bagian dari kesadaran orang banyak, saya akan melanjutkan menulis buku serupa, meski kritik mungkin menuduh saya melakukan hal yang sama berulang-ulang. Ini hanya bisa terus berulang. Orang tidak bisa mengubah proses yang sudah ditekankan. Ini adalah kebenaran universal—tidak bisa ditambah atau dikurangi", katanya.

Akar kepentingan religius

Jakoby mencatat bahwa pengetahuan tentang proses kematian, ajal, dan transisi kedunia lain belum mencapai sekitar 30 tahun. Ini telah menjadi bagian dari budaya manusia selama bertahun-tahun dan merupakan sebab akibat dari semua kepentingan dan kegiatan ilmu perdukunan dan religius. Para dukun atau cenayang telah melanggar garis kematian ketika mendapatkan informasi dari dunia lain saat meditasi.
Jalan pintas didokumentasikan dalam buku aliran Tao, juga dalam buku-buku orang Mesir dan Tibet tentang kematian. Dalam syair kepahlawanan Gilgamesh, jalan pintas ke dunia lain oleh seorang kawan dari sang pahlawan digambarkan dengan cara yang sama sebagaimana ditulis oleh Moody dalam Life After Death yakni—setelah melewati sebuah terowongan yang panjang dan gelap, yang telah mati berjalan ke arah cahaya terang dan terlihat pemandangan yang menakjubkan seperti surga.
Laporan terkini tentang pengalaman keluar dari tubuh fisik juga dikutip dalam injil — misalnya, dalam surat rasul Paulus. Jakoby mengakui bahwa laporan ini tentu saja spesifik secara kultural dan historis dan berkaitan dengan kepercayaan agama yang ada. Meski demikian, dengan mengesampingkan cengkeraman budaya, kami menemukan proses yang sama dan kejadian awam.
Menurut Jakoby, masalahnya adalah masyarakat modern tidak mau membuka diri akan hal-hal ini. Sekali orang menerima proses yang dapat diamati dan menaruh perhatian pada laporan-laporan yang ada, kemudian konsekuensinya, ia juga akan mengakui kehidupan setelah kematian, keberadaan dewa yang penuh kasih, dan tanggung jawabnya pada segala saesuatu termasuk dirinya sendiri.
"Itulah persisnya yang di refleksikan oleh proses kematian—kita akan dihadapkan dengan semua permasalahan yang tak terpecahkan dalam kehidupan kita, dan itu adalah sesuatu yang orang agak tidak suka mendengarnya," kata Jakoby.
Di saat kematian menjemput, orang seperti sebuah buku yang terbuka. Waktu untuk bersantai telah lewat, seperti mempunyai waktu untuk saling menyalahkan terhadap kekurangan kita. Kita benar-benar meninggalkan diri kita sendiri, dan itu juga alasan mengapa sebagian orang meninggal dengan mudah, dan yang lain dengan kesulitan. Semakin banyak persoalan yang belum terpecahkan menumpuk, proses kematian semakin sulit. Dengan segera, salah satu hal paling tabu adalah bagi orang usia 80-an untuk menyelesaikan  persoalan-persoalan yang belum terselesaikan dari Perang Dunia II di saat kematian mereka muncul.

Kontak dari alam baka

Jakoby menganggap ini sebuah persoalan kubur meskipun ada, pengetahuan yang terdokumentasi dengan baik tentang proses kematian, begitu banyak orang tidak menerjemahkan ini ke dalam kehidupan keseharian mereka. Sebagai contoh, ia mempercayai bahwa persiapan untuk kematian seharusnya tidak dimulai ketika seorang suami telah dirawat di rumah sakit, tetapi jauh lebih cepat sebelumnya. Tetapi, kebanyakan dari yang hadir dalam seminar datang hanya setelah melihat kematian, atau sesaat mereka dibuat kewalahan oleh sebuah peristiwa dan tak dapat menanganinya lagi.
Dalam hal khusus, Jakoby menemukan sejumlah besar laporan kontak setelah-kematian antara yang meninggal dan anggota keluarga yang hidup sebagai sebuah isyarat bagi kesempatan kita, karena kebanyakan kontak ini harus mengerjakan persoalan-persoalan yang belum terselesaikan.
Selama kita menyembunyikan pikiran tentang sakit menjadi sebuah penyakit, atau mempunyai pikiran negatif mengenai seseorang, kita tidak bebas. Itulah sebabnya memberi maaf adalah penting, dan itulah sebabnya begitu banyak orang sekarat merindukan perdamaian selama hari-hari terakhirnya.
"Orang dapat secara mendadak menunda proses kematian, misalnya ketika mereka sedang menunggu kedatangan orang yang diharapkan, bahkan meski membutuhkan waktu tiga minggu. Inilah pentingnya pembicaraan ini, dan karena itu proses kematian terhenti. Ini menunjukkan pada kita pentingnya pemberian maaf. Karena ketika redupnya kehidupan muncul kepermukaan dari kesadaran seseorang, dengan tiba-tiba dapat melihat hubungan yang lebih besar. Ini benar-benar sebuah peristiwa spiritual, kerapuhan dan kekerasan mental tersingkirkan," kata Jakoby. (Christian Shlierkamp/The Epoch Times/bdn)

0 comments:

Posting Komentar

Archive

 

zoom-mycasebook. Copyright 2009 All Rights Reserved Free Wordpress Themes by Brian Gardner Free Blogger Templates presents HD TV Watch Shows Online. Unblock through myspace proxy unblock, Songs by Christian Guitar Chords